ILMU PENDIDIKAN
“GENERASI Z”
DISUSUN OLEH:
Mohkamad Riyo Dwi Putra
(150611100114)
DOSEN PENGAMPU:
Drs. Harun Al Rasyid, M.Si
PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD)
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016
PEMBAHASAN
Generasi
Z dan Implikasinya terhadap Pendidikan
1)
Siapa
Generasi Z itu?
Dalam teori generasi
(Generation Theory) hingga saat ini dikenal ada 5 generasi, yaitu: (1)Generasi
Baby Boomer, lahir 1946-1964, (2) Generasi X, lahir 1965-1980, (3) Generasi Y,
lahir 1981-1994. Generasi Z, lahir
1995-2010, dan (5) Generasi Alpha, lahir 2011-2025.Generasi Z (disebut juga
iGeneration, Generasi Net, atau Generasi
Internet) terlahir dari generasi X dan Generasi Y.Menurut psikolog Elly Risman,
Psi., dari Yayasan Kita dan Buah
Hati (YKBH), Jakarta, Gen Z adalah
generasi yang banyak mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi, bermain, dan
bersosialisasi. “Dari sisi tata nilai, Gen X dan Gen Y mungkin masih lebih
bagus. Tingkat kepedulian mereka juga masih lebih tinggi. Tapi, Gen X dan Gen Y
tidak secepat Gen Z,” jelas Elly.
Mereka lahir dan dibesarkan di era digital,
dengan aneka teknologi yang komplet dan canggih, seperti: komputer/laptop,
HandPhone, iPads, PDA, MP3 player, BBM, internet, dan aneka perangkat
elektronik lainnya. Sejak kecil, mereka sudah mengenal (atau mungkin
diperkenalkan) dan akrab dengan berbagai gadget yang canggih itu, yang secara
langsung atau pun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan
perilaku dan kepribadiannya. Tuhana Taufiq Andrianto dalam Jusuf AN (2011)
memperkirakan akan terjadibooming Generasi Z
sekitar tahun 2020.
Kelimpahan dan keleluasaan
akses informasi yang dipicu oleh jaringan internet membentuk generasi Z sebagai
generasi yang lebih cepat dalam memproses informasi. Mereka lebih cepat dalam
mengarahkan cita-cita dan keinginan kerja dibandingkan dengan generasi
sebelumnya. Akibatnya rasio wirausahawan pada generasi Z lebih besar dari
generasi sebelumnya pada rentang usia yang sama. Di negara-negara barat,
implikasi lebih jauh terdeteksi pada rasio anak usia sekolah yang memilih untuk
belajar mandiri di rumah alih-alih belajar di sekolah semakin besar pada
generasi Z.
2)
Karakteristik Generasi Z
Generasi Z memiliki
karakteristik perilaku dan kepribadian yang berbeda dengan generasi
sebelumnya. Beberapa karakteristik umum
dari Generasi Z diantaranya adalah:
·
Fasih
Teknologi. Mereka adalah “generasi digital” yang mahir
dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer. Mereka dapat mengakses berbagai informasi yang
mereka butuhkan secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan
maupun kepentingan hidup kesehariannya.
·
Sosial. Mereka
sangat intens berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua kalangan, khususnya
dengan teman sebaya melalui berbagai situs jejaring, seperti: FaceBook,
twitter, atau melalui SMS. Melalui media
ini, mereka bisa mengekspresikan apa yang
dirasakan dan dipikirkannya secara spontan. Mereka juga cenderung
toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli dengan lingkungan.
·
Multitasking.Yaitu beberapa
pekerjaan dilakukan berbarengan. Mereka senang dengan persoalan-persoalan yang
membutuhkan pengambilan keputusan yang segera dan cepat. Mereka mengandalkan
sumber-sumber yang melimpah dari internet untuk membantu mereka melakukan
pengambilan keputusan yang cepat tersebut. Mereka terbiasa dengan berbagai
aktivitas dalam satu waktu yang
bersamaan. Mereka bisa membaca, berbicara, menonton, atau mendengarkan musik
dalam waktu yang bersamaan. Mereka menginginkan segala sesuatunya dapat dilakukan
dan berjalan serba cepat. Mereka tidak menginginkan hal-hal yang bertele-tele
dan berbelit-belit.
Karakteristik tersebut memiliki dua sisi yang
berlawanan, bisa positif- memberikan manfaat bagi dirinya dan atau
lingkungannya- atau justru malah negatif yang dapat merugikan diri sendiri
maupun lingkungannya. Wawan (2011) dalam
tulisannya yang dipublikasikan di Wikimu, mengatakan bahwa karena mereka fasih
dengan teknologi digital, mereka sangat cocok bekerja di perusahaan besar,
perusahaan yang mampu menyediakan fasilitas modern. Namun mereka akan kesulitan
jika diminta mengelola sebidang tanah, dengan fasilitas pengairan, dan modal
uang secukupnya. Karena yang ada di benak mereka adalah komputer, laptop dan
HP, bukan peternakan, perikanan dan pertanian.
Merurut Tuhana Taufiq Andrianto, sebagaimana disampaikan oleh Jusuf
AN dalam tulisannya yang berjudul “Masa
Depan Anak-Anak “Generasi Z” bahwa anak
cenderung berkurang dalam komunikasi secara verbal, cenderung bersikap
egosentris dan individualis, cenderung menginginkan hasil yang serba cepat,
serba-instan, dan serba-mudah, tidak sabaran, dan tidak menghargai proses.
Kecerdasan Intelektual (IQ) mereka mungkin akan berkembang baik, tetapi
kecerdasan emosional mereka jadi tumpul. Sementara itu, Choiron
(2011) menyoroti tentang bahaya dari kecenderungan generasi Z yang
gemar mendengarkan musik melalui earphone, yang dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas
dan gangguan pada pendengaran.
Dari berbagai sumber informasi, didapatkan
bahwa Generasi Z memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Memiliki akses yang cepat
terhadap informasi dari beragam sumber
2. Dapat mengerjakan beberapa
hal dalam waktu bersamaan (multitasking)
3. Lebih menyukai hal-hal yang
berhubungan dengan multimedia
4. Lebih menyukai berinteraksi lewat jejaring
sosial / social network, seperti Facebook, Twitter, Yahoo Messenger
5. menyukai hal-hal yang lebih applicable dan
menyenangkan
3)
Apa
Implikasinya terhadap Pendidikan?
Kiprah pendidikan senantiasa
hidup dalam suatu dunia yang terus berubah seiring dengan kemajuan teknologi
informasi dan perubahan demografi. Jika dunia pendidikan tidak menyelaraskan
diri dengan perkembangan jaman tersebut, pendidikan akan menjadi usang dan
tidak selaras dengan kemajuan di milenium kedua ini. Generasi muda saat ini,
yang disebut juga Generasi Z. karakteristik yang membuat mereka berbeda dengan
generasi terdahulu. Jika dunia pendidikan tidak membuat upaya untuk memetakan
profil khas pemelajar ini dan merancang pola pembelajaran yang sesuai, akan
terbentuk kesenjangan antara keduanya.
Pemelajar di jaman informasi ini mempunyai
kecenderungan gaya belajar aktif, sequential, sensing, dan visual (Felder dan
Soloman, 1993). Pemelajar aktif mudah belajar dengan melakukan sendiri apa yang
sedang dipelajari. Maka, mata pelajaran yang terlalu banyak bersifat ceramah
dan komunikasi satu arah serta terpusat kepada guru (teacher-centered) tidak
akan cocok dengan mereka. Sebaliknya, pembelajaran yang membuat mereka
menerapkan teori dan melakukan sendiri apa yang sedang dipelajari akan dengan
mudah menarik minat dan pada gilirannya kemampuan belajar mereka.
Mereka yang bergaya belajar
sequential mudah menyerap materi yang diberikan secara runtut, berurutan secara
logis, dan dengan jelas terkait antara satu dengan lainnya. Mereka dengan gaya
belajar sensing cenderung menyukai fakta, menyukai hal-hal yang penerapan
praktisnya jelas, mengharapkan relevansi dengan dunia sehari-hari, dan kurang
suka teori abstrak dan tes yang materinya belum dibahas tuntas di kelas.
Akhirnya, mereka dengan gaya belajar visual akan terbantu dengan bagan, skema,
dan diagram alir dari rangkaian teori yang sedang mereka kupas. Keempat gaya
belajar ini selaras dengan kecenderungan generasi internet yang kehidupannya
sarat dengan interaksi lewat berbagai media virtual seperti ponsel, Blackberry,
dan Internet. Kesimpulannya, sudah saatnya praktek pendidikan mengakomodasi
kecenderungan ini melalui kombinasi yang efektif antara pembelajaran teori
dengan eksplorasi dunia maya melalui berbagai piranti teknologi informasi
tersebut (Djiwandono, 2011)
Dunia pendidikan terus
berinovasi dan tak segan mengulas kembali prinsip-prinsip yang telah diajukan
di masa lalu namun masih relevan sampai sekarang. Pendekatan berpikir kritis
(Critical Thinking) sedang banyak diaplikasikan dan dikaji keefektifannya untuk
kegiatan belajar di semua disiplin ilmu. Dengan tujuan utama membentuk
pemelajar yang mampu belajar mandiri dengan bertumpu pada alur pemikiran yang
logis dan sistematis, pendekatan ini sangat relevan dengan jaman di mana sumber
belajar berlimpah dari Internet dan pemelajar terpapar pada sekian banyak
sumber informasi. Dihadapkan pada situasi berkelimpahan seperti ini, tak pelak
seorang pemelajar harus secara mantap menentukan tujuannya dan dengan kritis
menentukan sumber-sumber apa yang mereka bisa pakai untuk mencapai tujuan
tersebut. Bukan hanya itu, namun ketika sudah mencapai tujuan, mereka juga
harus mampu mengevaluasi sejauh mana dan bagaimana tujuan itu dicapai. Pada
intinya, pendekatan berpikir kritis sebaiknya mulai ditanamkan dan dipacu untuk
generasi terdidik dari semua bidang ilmu. Pada saat yang sama, dunia pendidikan
sebaiknya tidak segan berbenah diri untuk senantiasa peka terhadap
kecenderungan gaya belajar generasi muda dan membuat perubahan yang signifikan
(Djiwandono, 2011).
Maka para orang tua masa kini
memliki tantangan baru, yaitu bagaimana untuk menyikapi anak-anak generasi
Internet dengan bijak. Orang tua selain harus menjaga komunikasi dua arah
dengan sang anak, kini juga harus bisa menjelaskan kepada si anak bahwa proses
itu merupakan aspek penting, jangan dilupakan. Dedeh Kurnasih (2010) memberikan
beberapa kiat yang dapat diterapkan oleh orang tua dan guru agar tidak salah
langkah dalam mendidik anak, antara lain:
Pertama, mendekati anak lewat
gadget. Dengan langkah ini, orangtua atau pun guru menjadi setara denga si anak
dan nyambung dengan kemampuan si anak.
Kedua, memberikan
keseimbangan kepada anak. Menurut para ahli aneka gadget hanya akan membuat
salah satu sisi otak manusia yang terstimulasi. Padahal seharusnya kedua
belahan otak, baik belahan otak kanan maupun kiri distimulasi secara seimbang.
Cara menyeimbangkannya antara lain dengan melibatkan anak-anak dalam kegiatan
seni, seperti melukis, menari, musik dan lain sebagainya.
Ketiga, menumbuhkan
kebersamaan si anak dalam keluarga. Kita tidak boleh membiarkan anak
berlarut-larut dalam kesendirian dan terlalu akrab dengan gadget-nya. Oleh
karena itu orang tua harus menciptakan suasana yang hangat dalam keluarga
sehingga anak menjadi pribadi yang peduli, dan senang bersosialisasi dengan
orang lain.
Kehadiran Generasi Z dengan
segala karakteristiknya yang amat kompleks membawa implikasi tersendiri
terhadap pendidikan, diantaranya:
·
Kita tidak menghendaki
generasi yang gagap teknologi dan kita juga
tidak mengharapkan teknologi dipegang oleh “orang-orang yang salah”.
Oleh karena itu, orang tua, guru, konselor dan para pendidik lainnya seyogyanya
dapat membimbing dan memfasilitasi agar anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai
dengan jamannya dan dapat memanfaatkan kehadiran teknologi secara tepat dan benar. Bukan melarang mereka untuk menjadi
generasinya, tetapi yang paling penting adalah upaya membelajarkan mereka untuk
dapat hidup secara well adjusment.
·
Dalam belajar, anak Generasi
Z cenderung menyukai hal-hal yang bersifat aplikatif dan menyenangkan. Metode
pembelajaran yang dikembangkan harus mampu mengakomodasi kecenderungan cara
belajar yang mereka miliki, salah satunya melalui pendekatan Pembelajaran
Berpusatkan Model (PBM) yaitu pembelajaran yang menggunakan model, perangkat
yang dikonstruksi dan simulasi dinamika sistem untuk menghasilkan penyajian
yang beragam untuk menolong siswa mengembangkan pengertian dari fenomena yang
kompleks dan dinamis (Milrad, dkk, dalam Hazrul Iswadi, 2012).
·
Untuk mengakomodir
kecenderungan anak Generasi Z dalam bermedia-sosial online, Bukik (2012)
menawarkan pemikiran kreatifnya tentang “Twitter untuk Pendidikan: Melejitkan
Kreativitas”. Disebutkan, bahwa men-tweet tidak sekedar menghafalkan pelajaran
tetapi justru merupakan sebuah tantangan untuk menciptakan pelajaran. Proses
men-tweet itu sendiri merupakan upaya menciptakan bangunan pemahaman. Otak
tidak pasif, justru aktif melakukan penemuan dan penciptaan. Otak yang aktif
ini merupakan tanda dari senyatanya pembelajaran. Sementara itu, Akhmad
Sudrajat (2009), menggagas tentang Konseling FaceBook di Sekolah, yang intinya
tentang upaya memanfaatkan kehadiran FaceBook untuk mendukung efektivitas
pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah.Beberapa kecendrungan lain, yang
berkaitan dengan pembelajaran, yang dideteksi pada generasi Z adalah generasi Z
lebih menyenangi alat bantu atau metode pembelajaran yang menekankan sisi
interaksi dan visualisasi. Kecendrungan tersebut, oleh para ahli pendidikan,
ditenggarai sebagai konsekuensi langsung dari cara mereka terlibat dalam media
social mereka melalui kontak dengan alat (gadget) dan visualisasi. Selain dari
hal-hal di atas, generasi Z melakukan kerjasama dengan cara yang lebih lazim
dalam lingkungan media social maya yaitu kerjasama online.
menurut Permenpan dan reformasi birokrasi no.16
tahun 2009 pasal 11 menyatakan bahwa seorang guru tidak cukup melakukan
mengajar dan menilai tetapi juga harus melakukan PKB atau Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan yang terdiri dari :
1. Pengembangan diri
2. Publikasi
3. Inovasi
Sement ara itu pada tahun 2013 kemarin kita
telah melaksanakan kurikulum 2013 secara terbatas. Di dalam kurikulum yang baru
ini kita tahu bahwa TIK atau Teknologi Informasi dan Komunikasi atau IT
merupakan suatu alat yang harus dimanfaatkan oleh guru dalam pembelajarannya.
4) Penelitian terhadap anak
generasi Z
Pernah dilakukan penelitian anak
yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah mereka yang berusia 8 – 11
tahun (lahir tahun 1999 hingga 2003), rentang usia ini sesuai dengan
karakteristik dari Generasi Z dimana mereka adalah anak yang terlahir mulai tahun
1995 sampai dengan 2009 (http://generationz.com.au), selain itu secara tingkat
sosial ekonomi, sebagian besar responden merupakan anak dari orang tua dalam
strata golongan ekonomi menengah. Sehubungan dengan topik penelitian ini yang
bertujuan ingin melihat fenomena bermain dan hubungannya dengan eksistensi
ruang bermain, kuesioner disusun sedemikian rupa untuk dapat melihat gambaran
bermain anak dan ruang-ruang yang mereka jadikan sebagai tempat bermain yang
paling mereka senangi. Dari 10 pertanyaan, maka 5 pertanyaan terkait dengan
teknologi dan lima
pertanyaan terkait dengan
ruang bermain.
Mampu Mengoperasikan
Komputer?
Dari beberapa pertanyaan yang
terkait dengan teknologi (penguasaan komputer), terlihat gambaran bahwa
keseluruhan (100%) dari mereka sudah mengenal komputer dengan baik, pengenalan
komputer dengan baik terlihat dari kemampuan mereka untuk mengoperasikan
komputer (dari mulai start sampai turn off) yang dapat mereka lakukan dengan
sendiri. Fakta ini membenarkan apa yang menjadi karakteristik dominan generasi
Z yaitu: they are the most technologically literate generation of children ever
(Generationz.com.au). Berdasarkan data juga terlihat bahwa kemampuan mereka 12
ComTech Vol.3 No. 1 Juni 2012: 8-14 untuk mengoperasikan komputer disebabkan
oleh rasa keingintahuan mereka yang besar terhadap halhal yang terkait dengan
sesuatu yang ada disekitar mereka. Selain itu pengetahuan dasar yang diberikan
oleh guru di sekolah menambah kompetensi mereka sehingga mampu melakukan
eksplorasi
terhadap menu-menu yang ada
dikomputer. They move quickly from one task to another placing more value on
speed than accuracy (Generationz.com.au). Data juga memperlihatkan bahwa 60%
dari anak yang berada di kelas III (usia 8-9 tahun) sudah mampu untuk melakukan
ekplorasi menu-menu di komputer (khususnya yang terkait dengan games) dengan
sendirinya tanpa bantuan dari orang dewasa. Fakta ini membuktikan bahwa
Generasi Z adalah generasi yang sangat native and technologically terhadap
perangkat-perangkat elektronik modern, mudah beradaptasi dan mampu untuk
mengeksplorasi hal-hal yang terdapat di dalamnya.
5)
Masa
Depan Anak-anak "Generasi Z"
Perkembangan teknologi dan
informasi terus menggila. Wajah dunia sekarang diliputi dengan teknologi
digital hampir di semua lini. Kita tak mampu membendungnya. Dan lari darinya
justru akan menyusahkan dan kerepotan diri sendiri.Coba kita bandingkan cara
generasi Z berkomunikasi berbanding dengan
zaman kanak-kanak kita dahulu. Ingatkah kita
bagaimana ibu bapak atau datuk nenek kita berinteraksi secara bersemuka ataupun
melalui telefon, surat dan telegram? Justru, secara realiti fizikal, hubungan
komunikasi hari ini adalah jauh lebih baik berbeda daripada perhubungan jarak
jauh yang wujud pada zaman generasi sebelum ini. Maka, sudah tentu generasi Z
menterjemah interaksi 'bersemuka' melalui teknologi atas talian sebagai lebih
praktikal dan mudah. Generasi Z juga lebih arif dan tahu bagaimana untuk
memaksimumkan faedah tersebut sebaik mungkin.
Sekarang kita hidup di era
cyber atau era digital yang unik, aneh, dan penuh tantangan. Berbagai peralatan
super canggih, khususnya handphone, komputer, game (gadget) secara tidak
langsung telah merubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Akibat dari
penggunaan gadget-gadget tersebut tidaklah melulu positif, tergantung siapa dan
bagaimana menggunakannya. Karena itulah, dibutuhkan upaya prefentif agar
"generasi Z" yang sedang tumbuh dapat terkontrol dalam menggunaan
gadget.
Apabila kita amati, anak-anak
generasi Z ini menunjukkan ciri-ciri di antaranya memiliki kemampuan tinggi
dalam mengakses dan mengakomodasi informasi sehingga mereka mendapatkan
kesempatan lebih banyak dan terbuka untuk mengembangkan dirinya. Secara umum,
generasi Z ini merupakan generasi yang banyak mengandalkan teknologi untuk
berkomunikasi, bermain, dan bersosialisasi.Melihat gejala-gejala dan tingkah
laku yang ditujukkan oleh generasi Z tersebut, para ahli sebagian menamakan
generasi Z sebagai generasi digital, ada pula yang memberikan terminologi lain,
seperti net generation, naturally gadget generation, platinum generation, dan
silent generation.
Maka, yang paling penting
dilakukan sekarang, khususnya oleh orang tua dan pendidik, adalah mengajari dan
memberikan pengertian yang gamblang mengenai seluk belum dunia gadget dan cara
memanfaatkannya dengan benar.Dedeh Kurnasih (2010) memberikan beberapa kiat
yang dapat diterapkan oleh orang tua dan guru agar tidak salah langkah dalam
mendidik anak, antara lain: Pertama, mendekati anak lewat gadget. Dengan
langkah ini, orangtua atau pun guru menjadi setara denga si anak dan nyambung
dengan kemampuan si anak. Kedua, memberikan keseimbangan kepada anak. Menurut
para ahli aneka gadget hanya akan membuat salah satu sisi otak manusia yang
terstimulasi. Padahal seharusnya kedua belahan otak, baik belahan otak kanan
maupun kiri distimulasi secara seimbang. Cara menyeimbangkannya antara lain
dengan melibatkan anak-anak dalam kegiatan seni, seperti melukis, menari, musik
dan lain sebagainya. Ketiga, menumbuhkan kebersamaan si anak dalam keluarga. Kita
tidak boleh membiarkan anak berlarut-larut dalam kesendirian dan terlalu akrab
dengan gadget-nya. Oleh karena itu orang tua harus menciptakan suasana yang
hangat dalam keluarga sehingga anak menjadi pribadi yang peduli, dan senang
bersosialisasi dengan orang lain.
6)
Pendidikan
dalam Keluarga Bagi Generasi Z
Keluarga merupakan pendidikan
utama bagai seorang anak dalam perkembangan kepribadiannya. Karena anak akan
belajar mengenal dunia diawal kehidupan dalam lingkungan keluarga. Usia batita
(bawah tiga tahun) dan balita (Bawah
lima tahun) merupakan usia kritis dalam perkembangan anak, dalam artian pada
usia tersebut anak benar-benar membutuhkan peran orang tua karena usia tersebut
anak mulai belajar hal-hal mendasar bagi
kehidupan mereka kelak. Oleh karena itu, orang tua seharusnya memiliki peran
yang besar dan bahkan tidak tergantikan dalam mendidik anak pada usia kritis
ini. Perkembangan Teknologi mengakibatkan dampak yang luar biasa pada kehidupan
manusia. Kita bisa melihat bagaimana perkembanganteknologi mengakibatkan
mobilitas manusia semakin cepat sehingga merangsang pertumbuhan ekonomi yang
sangat cepat. Perubahan ini berdampak pula terhadap peran orang tua dalam
kehidupan anak. Dalam membagi ini kita dapat melihat teori generai dari Strauss
dalam membagi generasi mulai dari tahun 40-an sampai sekarang. Dalam teori Generasi yang diungkapkan Strauss, anak-anak
yang saat ini berada di Sekolah merupakan Generasi Z, yaitu generasi yang
dilahirkan antara tahun 1994 sampai sekarang. Generasi Z lebih dikenal dengan
generasi digital karena mereka lahir pada era digital, dimana peralatan digital
telah menjadi bagian yang sepertinya tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia. Anak-anak generasi Z dilahirkan
oleh orang tua yang merupakan Generasi X akhir dan Generasi Y awal. Generasi X
akhir dan Generasi Y awal merupakan generasi workaholic (pecandu Kerja)
tipikalnya pekerja keras. Kedua generasi saat ini saat ini sudah berada dalam
kemapamanan ekonomi dibanding generasi sebelumnya. Generasi X akhir dan Generasi
Y merupakan generasi yang sangat besar
secara kuantitias dan para Pasukan/Angkatan Pekerja (workforce).
Dalam hal ini, Orang tua juga
harus belajar bagaimana mendidik anak agar orang tua mengetahui kebutuhan anak
dalam belajar. Bukan menentukan anak untuk belajar apa sesuai dengan keinginan
orang tua. Orang tua menjadi orang tua helicopter yang mengontrol anak dan
memeberikan anak semua tetapi tanpa didasari pengetahuan tentang kebutuhan
nyata anak dalam belajar yaitu kehadiran kehangatan dari orang tua, bukan
materi yang hadir
Anak yang cerdas dan Sholeh
menjadi sebuah dambaan dari tiap keluarga , anak cerdas yang sholeh juga lahir
dalam keluarga yang berbudaya dan mampu mendidik. Keluarga harus menjadi tempat
belajar yang nyaman dan aman bagi anak dalam mengembangkan potensinya, bukan
menjadi tempat diktator yang mengatur hidup anak. Sebagaimana yang diungkap
Sayling wen (2003) bahwa peran keluarga bukan menjadi atap bagi anak,
tetapi menjadi tanah yang subur dimana
anak-anak itu merupakan benih. Benih itu diawal pertumbuhhannya harus hidup di
tanah yang memberikan banyak mineral untuk benih itu bertumbuh. Hal ini senada
dengan Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara, biarkan anak-anak menjadi sebuah
taman-taman yang berbunga cantik.
Vygotksy dalam konstruktivisme
sosialnya bahwa anak-anak akan mengkontruk lingkungan sosialnya dalam hal ini
keluarga, sehingga keluarga harus dikonstruk kebaikan yang menghiasai kehidupan
keluarga tersebut, Sehingga peran keluarga tidak tergantikan yang utama adalah
Orang tua atau pun anggota keluaraga yang lain. Zaman terus berubah, Peran
orang tua/ keluarga tak tergantikan sebagai sebuah taman yang subur dimana
benih –anak-anak – tumbuh dan berkembang di usia kritis dalam mengenal dunia.
Permasalahan utamanya,
orangtua dari Gen Z ini seringkali tidak tahu bahwa mereka memiliki anak-anak
Gen Z dengan beragam kelebihan tadi. Bahkan, orangtua kerap memperlakukan
anak-anak Gen Z ini seperti mereka diperlakukan ayah ibu mereka 20 – 30 tahun
lalu. “Masih pakai pola pengasuhan lama, cara lama, yang sudah pasti sudah
tidak relevan. Sudah kuno,” lanjutnya.
Namun, tantangan yang dihadapi Gen Z juga besar, salah satunya kerusakan otak
akibat pornografi
Untuk mengatasi hal ini,
kuncinya ada pada orangtua. “Orangtua
harus mau berubah, harus siap, harus paham, harus menerima tantangan bahwa
mereka membesarkan generasi Z yang berbeda,” jelas Elly. Orangtua juga harus
sadar siapa yang mereka hadapi dan tahu bagaimana menghadapinya. Artinya,
orangtua harus sadar anak-anak mereka adalah generasi yang mempersyaratkan
pengasuhan yang berubah, pembelajaran di sekolah yang juga berubah, serta dan
pekerjaan yang berubah. Misalnya dalam hal pekerjaan.
“Mereka ini tidak bisa
bekerja di satu tempat lebih dari dua tahun. Mereka maunya mencari kesempatan lebih
baik dan pas yang bisa membuat mereka lebih berkembang,” jelas Elly.
Elly menyarankan orangtua
agar melakukan common sense parenting . “Pola pengasuhan seperti yang dilakukan
orangtua zaman dulu tentu tidak bisa lagi dilakukan sekarang. Orangtua tidak
bisa menghindarkan anak dari teknologi. Tapi, jangan beri anak teknologi tanpa
alasan dan penjelasan,” ujar Elly. Dan, yang tidak boleh dilupakan, “Harus ada
penjelasan secara agama,” tegas Elly.Pada saat memberikan handphone misalnya, selain harus memberikan alasan,
orangtua juga wajib memberikan batasan dan peraturan kepada anak. Alat atau
piranti yang diberikan juga harus disesuaikan dengan tingkat usia. Aturan di
dalamnya juga harus memuat tentang rutinitas sehingga penggunaan teknologi
tetap harus dibatasi. Yang tak kalah penting, harus ada penjelasan tentang
keuntungan dan kerugian menggunakan berbagai media digital tadi, pembatasan
penggunaannya seperti apa, serta persyaratan yang disepakati bersama.
Apa yang bisa dilakukan orangtua menghadapi anak-anak
Gen Z? Berikut tips dari Elly Risman:
§ Orangtua
harus tahu perkembangan anak-anak mereka dan harus mau membangun kesadaran
terus-menerus. Perhatikan bahwa kebutuhan anak-anak ini berbeda. Komunikasi,
penghargaan, dan disiplin pun beda.
§ Pahami kebutuhan
anak-anak, proaktif mengarahkan, menjelaskan, mendampingi, dan membicarakan
konsekuensinya. Aturan harus dibuat bersama antara orangtua dengan anak.
§ Orangtua
harus mau belajar terus-menerus, terutama soal teknologi (IT). Contohnya,
bertemanlah dengan anak di Facebook atau Twitter, “Istilahnya, ‘Elo gaul dikit,
deh,’” ujar Elly. Untuk bisa mengikuti perkembangan anak
7)
Langkah Mendidik
Generasi z
A. ketahui
dulu karakter mereka
B. Pendekatan
berpikir kritis (Critical Thinking)
C. Mendekati
anak lewat peralatan digital, dengan langkah ini, orangtua atau guru menjadi
setara dengan si anak dan nyambung dengan kemampuan si anak.
D. orang
tua dan pendidik harus mengajari dan memberikan pengertian yang gamblang
mengenai seluk belum dunia gadget dan cara memanfaatkannya dengan benar.
E. memberikan
keseimbangan perkembangan otak kepada anak. Menurut para ahli aneka peralatan
digital hanya akan membuat salah satu sisi otak manusia yang terstimulasi.
Padahal seharusnya kedua belahan otak, baik belahan otak kanan maupun kiri
distimulasi secara seimbang. Cara menyeimbangkannya antara lain dengan
melibatkan anak-anak dalam kegiatan seni, seperti melukis, menari, musik dan
lain sebagainya.
F. jangan
melarang mereka untuk menjadi generasinya! Tetapi yang paling penting adalah upaya
membelajarkan mereka untuk dapat hidup dengan baik dan benar. Oleh karena itu,
Anda harus dapat membimbing dan memfasilitasi agar Gen Z dapat tumbuh dan
berkembang sesuai dengan jamannya dan dapat memanfaatkan kehadiran teknologi secara tepat dan benar.
G. menumbuhkan
kebersamaan si anak dalam keluarga. Kita tidak boleh membiarkan anak
berlarut-larut dalam kesendirian dan terlalu akrab dengan peralatan digitalnya.
Oleh karena itu orang tua harus menciptakan suasana yang hangat dalam keluarga
sehingga anak menjadi pribadi yang peduli, dan senang bersosialisasi dengan
orang.
0 komentar:
Posting Komentar