imagebam.com

GENERASI Z


ILMU PENDIDIKAN
“GENERASI Z”




DISUSUN OLEH:
Mohkamad Riyo Dwi Putra (150611100114)

DOSEN PENGAMPU:
Drs. Harun Al Rasyid, M.Si

PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD)
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016



PEMBAHASAN

Generasi Z dan Implikasinya terhadap Pendidikan
1)      Siapa Generasi Z itu?
Dalam teori generasi (Generation Theory) hingga saat ini dikenal ada 5 generasi, yaitu: (1)Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964, (2) Generasi X, lahir 1965-1980, (3) Generasi Y, lahir 1981-1994. Generasi  Z, lahir 1995-2010, dan (5) Generasi Alpha, lahir 2011-2025.Generasi Z (disebut juga iGeneration,  Generasi Net, atau Generasi Internet) terlahir dari generasi X dan Generasi Y.Menurut psikolog Elly Risman, Psi.,  dari Yayasan Kita dan Buah Hati  (YKBH), Jakarta, Gen Z adalah generasi yang banyak mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi, bermain, dan bersosialisasi. “Dari sisi tata nilai, Gen X dan Gen Y mungkin masih lebih bagus. Tingkat kepedulian mereka juga masih lebih tinggi. Tapi, Gen X dan Gen Y tidak secepat Gen Z,” jelas Elly.
 Mereka lahir dan dibesarkan di era digital, dengan aneka teknologi yang komplet dan canggih, seperti: komputer/laptop, HandPhone, iPads, PDA, MP3 player, BBM, internet, dan aneka perangkat elektronik lainnya. Sejak kecil, mereka sudah mengenal (atau mungkin diperkenalkan) dan akrab dengan berbagai gadget yang canggih itu, yang secara langsung atau pun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan perilaku dan kepribadiannya. Tuhana Taufiq Andrianto dalam Jusuf AN (2011) memperkirakan akan terjadibooming Generasi Z  sekitar tahun 2020.
Kelimpahan dan keleluasaan akses informasi yang dipicu oleh jaringan internet membentuk generasi Z sebagai generasi yang lebih cepat dalam memproses informasi. Mereka lebih cepat dalam mengarahkan cita-cita dan keinginan kerja dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Akibatnya rasio wirausahawan pada generasi Z lebih besar dari generasi sebelumnya pada rentang usia yang sama. Di negara-negara barat, implikasi lebih jauh terdeteksi pada rasio anak usia sekolah yang memilih untuk belajar mandiri di rumah alih-alih belajar di sekolah semakin besar pada generasi Z.

2)       Karakteristik Generasi Z
Generasi Z memiliki karakteristik perilaku dan kepribadian yang berbeda dengan generasi sebelumnya.  Beberapa karakteristik umum dari Generasi Z diantaranya adalah:
·         Fasih Teknologi. Mereka adalah “generasi digital” yang mahir dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer.  Mereka dapat mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan maupun kepentingan hidup kesehariannya.
·         Sosial. Mereka sangat intens berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua kalangan, khususnya dengan teman sebaya melalui berbagai situs jejaring, seperti: FaceBook, twitter, atau  melalui SMS. Melalui media ini, mereka bisa mengekspresikan apa yang  dirasakan dan dipikirkannya secara spontan. Mereka juga cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli dengan lingkungan.
·         Multitasking.Yaitu beberapa pekerjaan dilakukan berbarengan. Mereka senang dengan persoalan-persoalan yang membutuhkan pengambilan keputusan yang segera dan cepat. Mereka mengandalkan sumber-sumber yang melimpah dari internet untuk membantu mereka melakukan pengambilan keputusan yang cepat tersebut. Mereka terbiasa dengan berbagai aktivitas  dalam satu waktu yang bersamaan. Mereka bisa membaca, berbicara, menonton, atau mendengarkan musik dalam waktu yang bersamaan. Mereka menginginkan segala sesuatunya dapat dilakukan dan berjalan serba cepat. Mereka tidak menginginkan hal-hal yang bertele-tele dan berbelit-belit.

Karakteristik tersebut memiliki dua sisi yang berlawanan, bisa positif- memberikan manfaat bagi dirinya dan atau lingkungannya- atau justru malah negatif yang dapat merugikan diri sendiri maupun lingkungannya. Wawan (2011)  dalam tulisannya yang dipublikasikan di Wikimu, mengatakan bahwa karena mereka fasih dengan teknologi digital, mereka sangat cocok bekerja di perusahaan besar, perusahaan yang mampu menyediakan fasilitas modern. Namun mereka akan kesulitan jika diminta mengelola sebidang tanah, dengan fasilitas pengairan, dan modal uang secukupnya. Karena yang ada di benak mereka adalah komputer, laptop dan HP, bukan peternakan, perikanan dan pertanian.  Merurut Tuhana Taufiq Andrianto, sebagaimana disampaikan oleh Jusuf AN  dalam tulisannya yang berjudul “Masa Depan Anak-Anak “Generasi Z” bahwa  anak cenderung berkurang dalam komunikasi secara verbal, cenderung bersikap egosentris dan individualis, cenderung menginginkan hasil yang serba cepat, serba-instan, dan serba-mudah, tidak sabaran, dan tidak menghargai proses. Kecerdasan Intelektual (IQ) mereka mungkin akan berkembang baik, tetapi kecerdasan emosional mereka jadi tumpul. Sementara itu,  Choiron  (2011) menyoroti tentang bahaya dari kecenderungan generasi Z yang gemar  mendengarkan musik melalui earphone,  yang dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan gangguan pada pendengaran.
Dari berbagai sumber informasi, didapatkan bahwa Generasi Z memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Memiliki akses yang cepat terhadap informasi dari beragam sumber
2. Dapat mengerjakan beberapa hal dalam waktu bersamaan (multitasking)
3. Lebih menyukai hal-hal yang berhubungan dengan multimedia
4. Lebih menyukai berinteraksi lewat jejaring sosial / social network, seperti Facebook, Twitter, Yahoo Messenger
5. menyukai hal-hal yang lebih applicable dan menyenangkan

3)      Apa Implikasinya terhadap Pendidikan?
Kiprah pendidikan senantiasa hidup dalam suatu dunia yang terus berubah seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan perubahan demografi. Jika dunia pendidikan tidak menyelaraskan diri dengan perkembangan jaman tersebut, pendidikan akan menjadi usang dan tidak selaras dengan kemajuan di milenium kedua ini. Generasi muda saat ini, yang disebut juga Generasi Z. karakteristik yang membuat mereka berbeda dengan generasi terdahulu. Jika dunia pendidikan tidak membuat upaya untuk memetakan profil khas pemelajar ini dan merancang pola pembelajaran yang sesuai, akan terbentuk kesenjangan antara keduanya.
Pemelajar di jaman informasi ini mempunyai kecenderungan gaya belajar aktif, sequential, sensing, dan visual (Felder dan Soloman, 1993). Pemelajar aktif mudah belajar dengan melakukan sendiri apa yang sedang dipelajari. Maka, mata pelajaran yang terlalu banyak bersifat ceramah dan komunikasi satu arah serta terpusat kepada guru (teacher-centered) tidak akan cocok dengan mereka. Sebaliknya, pembelajaran yang membuat mereka menerapkan teori dan melakukan sendiri apa yang sedang dipelajari akan dengan mudah menarik minat dan pada gilirannya kemampuan belajar mereka.
Mereka yang bergaya belajar sequential mudah menyerap materi yang diberikan secara runtut, berurutan secara logis, dan dengan jelas terkait antara satu dengan lainnya. Mereka dengan gaya belajar sensing cenderung menyukai fakta, menyukai hal-hal yang penerapan praktisnya jelas, mengharapkan relevansi dengan dunia sehari-hari, dan kurang suka teori abstrak dan tes yang materinya belum dibahas tuntas di kelas. Akhirnya, mereka dengan gaya belajar visual akan terbantu dengan bagan, skema, dan diagram alir dari rangkaian teori yang sedang mereka kupas. Keempat gaya belajar ini selaras dengan kecenderungan generasi internet yang kehidupannya sarat dengan interaksi lewat berbagai media virtual seperti ponsel, Blackberry, dan Internet. Kesimpulannya, sudah saatnya praktek pendidikan mengakomodasi kecenderungan ini melalui kombinasi yang efektif antara pembelajaran teori dengan eksplorasi dunia maya melalui berbagai piranti teknologi informasi tersebut (Djiwandono, 2011)
Dunia pendidikan terus berinovasi dan tak segan mengulas kembali prinsip-prinsip yang telah diajukan di masa lalu namun masih relevan sampai sekarang. Pendekatan berpikir kritis (Critical Thinking) sedang banyak diaplikasikan dan dikaji keefektifannya untuk kegiatan belajar di semua disiplin ilmu. Dengan tujuan utama membentuk pemelajar yang mampu belajar mandiri dengan bertumpu pada alur pemikiran yang logis dan sistematis, pendekatan ini sangat relevan dengan jaman di mana sumber belajar berlimpah dari Internet dan pemelajar terpapar pada sekian banyak sumber informasi. Dihadapkan pada situasi berkelimpahan seperti ini, tak pelak seorang pemelajar harus secara mantap menentukan tujuannya dan dengan kritis menentukan sumber-sumber apa yang mereka bisa pakai untuk mencapai tujuan tersebut. Bukan hanya itu, namun ketika sudah mencapai tujuan, mereka juga harus mampu mengevaluasi sejauh mana dan bagaimana tujuan itu dicapai. Pada intinya, pendekatan berpikir kritis sebaiknya mulai ditanamkan dan dipacu untuk generasi terdidik dari semua bidang ilmu. Pada saat yang sama, dunia pendidikan sebaiknya tidak segan berbenah diri untuk senantiasa peka terhadap kecenderungan gaya belajar generasi muda dan membuat perubahan yang signifikan (Djiwandono, 2011).
Maka para orang tua masa kini memliki tantangan baru, yaitu bagaimana untuk menyikapi anak-anak generasi Internet dengan bijak. Orang tua selain harus menjaga komunikasi dua arah dengan sang anak, kini juga harus bisa menjelaskan kepada si anak bahwa proses itu merupakan aspek penting, jangan dilupakan. Dedeh Kurnasih (2010) memberikan beberapa kiat yang dapat diterapkan oleh orang tua dan guru agar tidak salah langkah dalam mendidik anak, antara lain:
Pertama, mendekati anak lewat gadget. Dengan langkah ini, orangtua atau pun guru menjadi setara denga si anak dan nyambung dengan kemampuan si anak.
Kedua, memberikan keseimbangan kepada anak. Menurut para ahli aneka gadget hanya akan membuat salah satu sisi otak manusia yang terstimulasi. Padahal seharusnya kedua belahan otak, baik belahan otak kanan maupun kiri distimulasi secara seimbang. Cara menyeimbangkannya antara lain dengan melibatkan anak-anak dalam kegiatan seni, seperti melukis, menari, musik dan lain sebagainya.
Ketiga, menumbuhkan kebersamaan si anak dalam keluarga. Kita tidak boleh membiarkan anak berlarut-larut dalam kesendirian dan terlalu akrab dengan gadget-nya. Oleh karena itu orang tua harus menciptakan suasana yang hangat dalam keluarga sehingga anak menjadi pribadi yang peduli, dan senang bersosialisasi dengan orang lain.



Kehadiran Generasi Z dengan segala karakteristiknya yang amat kompleks membawa implikasi tersendiri terhadap pendidikan, diantaranya:
·         Kita tidak menghendaki generasi yang gagap teknologi dan kita juga  tidak mengharapkan teknologi dipegang oleh “orang-orang yang salah”. Oleh karena itu, orang tua, guru, konselor dan para pendidik lainnya seyogyanya dapat membimbing dan memfasilitasi agar anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan jamannya dan dapat memanfaatkan kehadiran  teknologi secara tepat dan benar.  Bukan melarang mereka untuk menjadi generasinya, tetapi yang paling penting adalah upaya membelajarkan mereka untuk dapat hidup secara well adjusment.
·         Dalam belajar, anak Generasi Z cenderung menyukai hal-hal yang bersifat aplikatif dan menyenangkan. Metode pembelajaran yang dikembangkan harus mampu mengakomodasi kecenderungan cara belajar yang mereka miliki, salah satunya melalui pendekatan Pembelajaran Berpusatkan Model (PBM) yaitu pembelajaran yang menggunakan model, perangkat yang dikonstruksi dan simulasi dinamika sistem untuk menghasilkan penyajian yang beragam untuk menolong siswa mengembangkan pengertian dari fenomena yang kompleks dan dinamis (Milrad, dkk, dalam Hazrul Iswadi, 2012).
·         Untuk mengakomodir kecenderungan anak Generasi Z dalam bermedia-sosial online, Bukik (2012) menawarkan pemikiran kreatifnya tentang “Twitter untuk Pendidikan: Melejitkan Kreativitas”. Disebutkan, bahwa men-tweet tidak sekedar menghafalkan pelajaran tetapi justru merupakan sebuah tantangan untuk menciptakan pelajaran. Proses men-tweet itu sendiri merupakan upaya menciptakan bangunan pemahaman. Otak tidak pasif, justru aktif melakukan penemuan dan penciptaan. Otak yang aktif ini merupakan tanda dari senyatanya pembelajaran. Sementara itu, Akhmad Sudrajat (2009), menggagas tentang Konseling FaceBook di Sekolah, yang intinya tentang upaya memanfaatkan kehadiran FaceBook untuk mendukung efektivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah.Beberapa kecendrungan lain, yang berkaitan dengan pembelajaran, yang dideteksi pada generasi Z adalah generasi Z lebih menyenangi alat bantu atau metode pembelajaran yang menekankan sisi interaksi dan visualisasi. Kecendrungan tersebut, oleh para ahli pendidikan, ditenggarai sebagai konsekuensi langsung dari cara mereka terlibat dalam media social mereka melalui kontak dengan alat (gadget) dan visualisasi. Selain dari hal-hal di atas, generasi Z melakukan kerjasama dengan cara yang lebih lazim dalam lingkungan media social maya yaitu kerjasama online.
menurut Permenpan dan reformasi birokrasi no.16 tahun 2009 pasal 11 menyatakan bahwa seorang guru tidak cukup melakukan mengajar dan menilai tetapi juga harus melakukan PKB atau Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan yang terdiri dari :
1. Pengembangan diri
2. Publikasi
3. Inovasi
Sement            ara itu pada tahun 2013 kemarin kita telah melaksanakan kurikulum 2013 secara terbatas. Di dalam kurikulum yang baru ini kita tahu bahwa TIK atau Teknologi Informasi dan Komunikasi atau IT merupakan suatu alat yang harus dimanfaatkan oleh guru dalam pembelajarannya.


4)      Penelitian terhadap anak generasi Z
            Pernah dilakukan penelitian anak yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah mereka yang berusia 8 – 11 tahun (lahir tahun 1999 hingga 2003), rentang usia ini sesuai dengan karakteristik dari Generasi Z dimana mereka adalah anak yang terlahir mulai tahun 1995 sampai dengan 2009 (http://generationz.com.au), selain itu secara tingkat sosial ekonomi, sebagian besar responden merupakan anak dari orang tua dalam strata golongan ekonomi menengah. Sehubungan dengan topik penelitian ini yang bertujuan ingin melihat fenomena bermain dan hubungannya dengan eksistensi ruang bermain, kuesioner disusun sedemikian rupa untuk dapat melihat gambaran bermain anak dan ruang-ruang yang mereka jadikan sebagai tempat bermain yang paling mereka senangi. Dari 10 pertanyaan, maka 5 pertanyaan terkait dengan teknologi dan lima
pertanyaan terkait dengan ruang bermain.
Mampu Mengoperasikan Komputer?
Dari beberapa pertanyaan yang terkait dengan teknologi (penguasaan komputer), terlihat gambaran bahwa keseluruhan (100%) dari mereka sudah mengenal komputer dengan baik, pengenalan komputer dengan baik terlihat dari kemampuan mereka untuk mengoperasikan komputer (dari mulai start sampai turn off) yang dapat mereka lakukan dengan sendiri. Fakta ini membenarkan apa yang menjadi karakteristik dominan generasi Z yaitu: they are the most technologically literate generation of children ever (Generationz.com.au). Berdasarkan data juga terlihat bahwa kemampuan mereka 12 ComTech Vol.3 No. 1 Juni 2012: 8-14 untuk mengoperasikan komputer disebabkan oleh rasa keingintahuan mereka yang besar terhadap halhal yang terkait dengan sesuatu yang ada disekitar mereka. Selain itu pengetahuan dasar yang diberikan oleh guru di sekolah menambah kompetensi mereka sehingga mampu melakukan eksplorasi
terhadap menu-menu yang ada dikomputer. They move quickly from one task to another placing more value on speed than accuracy (Generationz.com.au). Data juga memperlihatkan bahwa 60% dari anak yang berada di kelas III (usia 8-9 tahun) sudah mampu untuk melakukan ekplorasi menu-menu di komputer (khususnya yang terkait dengan games) dengan sendirinya tanpa bantuan dari orang dewasa. Fakta ini membuktikan bahwa Generasi Z adalah generasi yang sangat native and technologically terhadap perangkat-perangkat elektronik modern, mudah beradaptasi dan mampu untuk mengeksplorasi hal-hal yang terdapat di dalamnya.

5)      Masa Depan Anak-anak "Generasi Z"
Perkembangan teknologi dan informasi terus menggila. Wajah dunia sekarang diliputi dengan teknologi digital hampir di semua lini. Kita tak mampu membendungnya. Dan lari darinya justru akan menyusahkan dan kerepotan diri sendiri.Coba kita bandingkan cara generasi Z berkomunikasi berbanding dengan
zaman kanak-kanak kita dahulu. Ingatkah kita bagaimana ibu bapak atau datuk nenek kita berinteraksi secara bersemuka ataupun melalui telefon, surat dan telegram? Justru, secara realiti fizikal, hubungan komunikasi hari ini adalah jauh lebih baik berbeda daripada perhubungan jarak jauh yang wujud pada zaman generasi sebelum ini. Maka, sudah tentu generasi Z menterjemah interaksi 'bersemuka' melalui teknologi atas talian sebagai lebih praktikal dan mudah. Generasi Z juga lebih arif dan tahu bagaimana untuk memaksimumkan faedah tersebut sebaik mungkin.
Sekarang kita hidup di era cyber atau era digital yang unik, aneh, dan penuh tantangan. Berbagai peralatan super canggih, khususnya handphone, komputer, game (gadget) secara tidak langsung telah merubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Akibat dari penggunaan gadget-gadget tersebut tidaklah melulu positif, tergantung siapa dan bagaimana menggunakannya. Karena itulah, dibutuhkan upaya prefentif agar "generasi Z" yang sedang tumbuh dapat terkontrol dalam menggunaan gadget.
Apabila kita amati, anak-anak generasi Z ini menunjukkan ciri-ciri di antaranya memiliki kemampuan tinggi dalam mengakses dan mengakomodasi informasi sehingga mereka mendapatkan kesempatan lebih banyak dan terbuka untuk mengembangkan dirinya. Secara umum, generasi Z ini merupakan generasi yang banyak mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi, bermain, dan bersosialisasi.Melihat gejala-gejala dan tingkah laku yang ditujukkan oleh generasi Z tersebut, para ahli sebagian menamakan generasi Z sebagai generasi digital, ada pula yang memberikan terminologi lain, seperti net generation, naturally gadget generation, platinum generation, dan silent generation.
Maka, yang paling penting dilakukan sekarang, khususnya oleh orang tua dan pendidik, adalah mengajari dan memberikan pengertian yang gamblang mengenai seluk belum dunia gadget dan cara memanfaatkannya dengan benar.Dedeh Kurnasih (2010) memberikan beberapa kiat yang dapat diterapkan oleh orang tua dan guru agar tidak salah langkah dalam mendidik anak, antara lain: Pertama, mendekati anak lewat gadget. Dengan langkah ini, orangtua atau pun guru menjadi setara denga si anak dan nyambung dengan kemampuan si anak. Kedua, memberikan keseimbangan kepada anak. Menurut para ahli aneka gadget hanya akan membuat salah satu sisi otak manusia yang terstimulasi. Padahal seharusnya kedua belahan otak, baik belahan otak kanan maupun kiri distimulasi secara seimbang. Cara menyeimbangkannya antara lain dengan melibatkan anak-anak dalam kegiatan seni, seperti melukis, menari, musik dan lain sebagainya. Ketiga, menumbuhkan kebersamaan si anak dalam keluarga. Kita tidak boleh membiarkan anak berlarut-larut dalam kesendirian dan terlalu akrab dengan gadget-nya. Oleh karena itu orang tua harus menciptakan suasana yang hangat dalam keluarga sehingga anak menjadi pribadi yang peduli, dan senang bersosialisasi dengan orang lain.

6)      Pendidikan dalam Keluarga Bagi Generasi Z
Keluarga merupakan pendidikan utama bagai seorang anak dalam perkembangan kepribadiannya. Karena anak akan belajar mengenal dunia diawal kehidupan dalam lingkungan keluarga. Usia batita (bawah tiga tahun)  dan balita (Bawah lima tahun) merupakan usia kritis dalam perkembangan anak, dalam artian pada usia tersebut anak benar-benar membutuhkan peran orang tua karena usia tersebut anak mulai  belajar hal-hal mendasar bagi kehidupan mereka kelak. Oleh karena itu, orang tua seharusnya memiliki peran yang besar dan bahkan tidak tergantikan dalam mendidik anak pada usia kritis ini. Perkembangan Teknologi mengakibatkan dampak yang luar biasa pada kehidupan manusia. Kita bisa melihat bagaimana perkembanganteknologi mengakibatkan mobilitas manusia semakin cepat sehingga merangsang pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Perubahan ini berdampak pula terhadap peran orang tua dalam kehidupan anak. Dalam membagi ini kita dapat melihat teori generai dari Strauss dalam membagi generasi mulai dari tahun 40-an sampai sekarang. Dalam teori  Generasi yang diungkapkan Strauss, anak-anak yang saat ini berada di Sekolah merupakan Generasi Z, yaitu generasi yang dilahirkan antara tahun 1994 sampai sekarang. Generasi Z lebih dikenal dengan generasi digital karena mereka lahir pada era digital, dimana peralatan digital telah menjadi bagian yang sepertinya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.  Anak-anak generasi Z dilahirkan oleh orang tua yang merupakan Generasi X akhir dan Generasi Y awal. Generasi X akhir dan Generasi Y awal merupakan generasi workaholic (pecandu Kerja) tipikalnya pekerja keras. Kedua generasi saat ini saat ini sudah berada dalam kemapamanan ekonomi dibanding generasi sebelumnya. Generasi X akhir dan Generasi Y  merupakan generasi yang sangat besar secara kuantitias dan para Pasukan/Angkatan Pekerja (workforce).
Dalam hal ini, Orang tua juga harus belajar bagaimana mendidik anak agar orang tua mengetahui kebutuhan anak dalam belajar. Bukan menentukan anak untuk belajar apa sesuai dengan keinginan orang tua. Orang tua menjadi orang tua helicopter yang mengontrol anak dan memeberikan anak semua tetapi tanpa didasari pengetahuan tentang kebutuhan nyata anak dalam belajar yaitu kehadiran kehangatan dari orang tua, bukan materi yang hadir
Anak yang cerdas dan Sholeh menjadi sebuah dambaan dari tiap keluarga , anak cerdas yang sholeh juga lahir dalam keluarga yang berbudaya dan mampu mendidik. Keluarga harus menjadi tempat belajar yang nyaman dan aman bagi anak dalam mengembangkan potensinya, bukan menjadi tempat diktator yang mengatur hidup anak. Sebagaimana yang diungkap Sayling wen (2003) bahwa peran keluarga bukan menjadi atap bagi anak, tetapi  menjadi tanah yang subur dimana anak-anak itu merupakan benih. Benih itu diawal pertumbuhhannya harus hidup di tanah yang memberikan banyak mineral untuk benih itu bertumbuh. Hal ini senada dengan Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara, biarkan anak-anak menjadi sebuah taman-taman yang berbunga cantik.
Vygotksy dalam konstruktivisme sosialnya bahwa anak-anak akan mengkontruk lingkungan sosialnya dalam hal ini keluarga, sehingga keluarga harus dikonstruk kebaikan yang menghiasai kehidupan keluarga tersebut, Sehingga peran keluarga tidak tergantikan yang utama adalah Orang tua atau pun anggota keluaraga yang lain. Zaman terus berubah, Peran orang tua/ keluarga tak tergantikan sebagai sebuah taman yang subur dimana benih –anak-anak – tumbuh dan berkembang di usia kritis dalam mengenal dunia.
Permasalahan utamanya, orangtua dari Gen Z ini seringkali tidak tahu bahwa mereka memiliki anak-anak Gen Z dengan beragam kelebihan tadi. Bahkan, orangtua kerap memperlakukan anak-anak Gen Z ini seperti mereka diperlakukan ayah ibu mereka 20 – 30 tahun lalu. “Masih pakai pola pengasuhan lama, cara lama, yang sudah pasti sudah tidak relevan. Sudah  kuno,” lanjutnya. Namun, tantangan yang dihadapi Gen Z juga besar, salah satunya kerusakan otak akibat pornografi
Untuk mengatasi hal ini, kuncinya ada pada orangtua.  “Orangtua harus mau berubah, harus siap, harus paham, harus menerima tantangan bahwa mereka membesarkan generasi Z yang berbeda,” jelas Elly. Orangtua juga harus sadar siapa yang mereka hadapi dan tahu bagaimana menghadapinya. Artinya, orangtua harus sadar anak-anak mereka adalah generasi yang mempersyaratkan pengasuhan yang berubah, pembelajaran di sekolah yang juga berubah, serta dan pekerjaan yang berubah. Misalnya dalam hal pekerjaan.
“Mereka ini tidak bisa bekerja di satu tempat lebih dari dua tahun. Mereka maunya mencari kesempatan lebih baik dan pas yang bisa membuat mereka lebih berkembang,” jelas Elly.
Elly menyarankan orangtua agar melakukan common sense parenting . “Pola pengasuhan seperti yang dilakukan orangtua zaman dulu tentu tidak bisa lagi dilakukan sekarang. Orangtua tidak bisa menghindarkan anak dari teknologi. Tapi, jangan beri anak teknologi tanpa alasan dan penjelasan,” ujar Elly. Dan, yang tidak boleh dilupakan, “Harus ada penjelasan secara agama,” tegas Elly.Pada saat memberikan handphone  misalnya, selain harus memberikan alasan, orangtua juga wajib memberikan batasan dan peraturan kepada anak. Alat atau piranti yang diberikan juga harus disesuaikan dengan tingkat usia. Aturan di dalamnya juga harus memuat tentang rutinitas sehingga penggunaan teknologi tetap harus dibatasi. Yang tak kalah penting, harus ada penjelasan tentang keuntungan dan kerugian menggunakan berbagai media digital tadi, pembatasan penggunaannya seperti apa, serta persyaratan yang disepakati bersama.

Apa yang  bisa dilakukan orangtua menghadapi anak-anak Gen Z? Berikut tips dari Elly Risman:
§  Orangtua harus tahu perkembangan anak-anak mereka dan harus mau membangun kesadaran terus-menerus. Perhatikan bahwa kebutuhan anak-anak ini berbeda. Komunikasi, penghargaan, dan disiplin pun beda.
§  Pahami kebutuhan anak-anak, proaktif mengarahkan, menjelaskan, mendampingi, dan membicarakan konsekuensinya. Aturan harus dibuat bersama antara orangtua dengan anak.
§  Orangtua harus mau belajar terus-menerus, terutama soal teknologi (IT). Contohnya, bertemanlah dengan anak di Facebook atau Twitter, “Istilahnya, ‘Elo gaul dikit, deh,’” ujar Elly. Untuk bisa mengikuti perkembangan anak

7)      Langkah Mendidik Generasi z
A.    ketahui dulu karakter mereka
B.     Pendekatan berpikir kritis (Critical Thinking)
C.     Mendekati anak lewat peralatan digital, dengan langkah ini, orangtua atau guru menjadi setara dengan si anak dan nyambung dengan kemampuan si anak.
D.    orang tua dan pendidik harus mengajari dan memberikan pengertian yang gamblang mengenai seluk belum dunia gadget dan cara memanfaatkannya dengan benar.
E.     memberikan keseimbangan perkembangan otak kepada anak. Menurut para ahli aneka peralatan digital hanya akan membuat salah satu sisi otak manusia yang terstimulasi. Padahal seharusnya kedua belahan otak, baik belahan otak kanan maupun kiri distimulasi secara seimbang. Cara menyeimbangkannya antara lain dengan melibatkan anak-anak dalam kegiatan seni, seperti melukis, menari, musik dan lain sebagainya.
F.      jangan melarang mereka untuk menjadi generasinya! Tetapi yang paling penting adalah upaya membelajarkan mereka untuk dapat hidup dengan baik dan benar. Oleh karena itu, Anda harus dapat membimbing dan memfasilitasi agar Gen Z dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan jamannya dan dapat memanfaatkan kehadiran  teknologi secara tepat dan benar.
G.    menumbuhkan kebersamaan si anak dalam keluarga. Kita tidak boleh membiarkan anak berlarut-larut dalam kesendirian dan terlalu akrab dengan peralatan digitalnya. Oleh karena itu orang tua harus menciptakan suasana yang hangat dalam keluarga sehingga anak menjadi pribadi yang peduli, dan senang bersosialisasi dengan orang.


0 komentar:

Posting Komentar